Jumat, 14 Mei 2010

SAYYID QUTHUB DAN TAFSIR FI DZILAL AL-QUR’AN

SAYYID QUTHUB DAN TAFSIR FI DZILAL AL-QUR’AN
A.      Pendahuluan
Al-Qur’an dan tafsirnya selalu menarik untuk dibicarakan, hampir 1500 tahun sejak diturunkan Al’Qur’an berulang-ulang dikaji dan diteliti, ini tidak membuat Al-Qur’an menjadi “kering dan habis”  tapi malah membuat para intelektual semakin kagum terhadap Al-Quran. Bukan hanya para intelektual muslim yang mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an, tapi daya tarik Al-Qur’an telah memikat minat para orientalis non muslim untuk ikut mengkajinya. Kalau umat Islam mengkaji Al-Qur’an dan kemudian menafsirkan Al-Qur’an itu adalah hal yang wajar, dan memang  kebutuhan terhadap tafsir adalah keniscayaan bagi umat Islam karena disanalah petunjuk hidupnya. Tapi para intelektual non Muslim begitu tertariknya pada Al-Qur’an, apa yang mereka cari ? Apapun alasannya yang pasti Al-Qur’an begitu menariknya –bandingkan dengan “kitab suci” agama lain.
Dalam khasanah keilmuan Islam, tafsir menempati kedudukan yang  sangat tinggi, tentu karena paling mulia subjek pembahasannya dan juga tujuannya, karena tafsir dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia memerlukan petunjuk ilahi.[1] Tanpa tafsir umat Islam tidak mampu menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian untuk memecahkan masalah kehidupan duniawi maupun eskatologis, tafsir diperlukan.
Upaya penafsiran Al-Quran yang merupakan usaha menerjemahkan “bahasa tuhan” yang normatif menjadi “bahasa manusia” terus dilakukan, bahkan semenjak kitab suci ini masih diturunkan kepada Rasulullah, yakni oleh Rasul sendiri, sebagai orang pertama yang menjelaskan maksud isi ayat-ayat yang diturunkan kepadanya, kepada para sahabat-sahabatnya. Sepeninggal Rasul, penafsiran Al-qur’an terus dilakukan oleh para sahabat, tabi’in .tabi’ttabi’in, dan ulama’-ulama’ sesudahnya. Ini karena kontek kesejarahan para mufassir ini berbeda-beda, baik kurun waktunya maupun geografisnya, dan juga kultural dan intelektual saat mufassir hidup. Dengan demikian tafsir selalu bersifat kontektual, artinya, kondisi sosial budaya yang melingkupi penafsir menjadi latar belakang penafsirannya. Zaman yang berbeda, dengan kondisi sosio historis yang berbeda pula, membutuhkan tafsir-tafsir baru, sehingga Al-Qur’an tetap teraktualisasikan“sholahun likulli zaman wa makan”nya. Namun demikian bukan berarti tafsir yang ditulis ulama’ terdahulu tidak bisa digunakan lagi, tetap masih bisa menjadi rujukan untuk pemahaman konteks  yang semisal, karena sejarah itu berjalan secara spiral, atau bahkan yang berkaitan dengan yang mahdhoh dan qot’I, tetap diperlukan untuk dikaji dan diamalkan.
Penulisan tafsir tidak terlepas dari sosiokultural penulisnya, kondisi geografis, politik, kecenderungan madzhab teologi maupun fiqh yang di anutnya, dan tentu kecenderungan intelektualnya juga menjadi ciri has corak tafsirnya. secara umum tafsir digolongkan menjadi dua : bil ma’tsur dan bil-ro’yi, Ketika kecenderungan tafsir bilma’sur, maka corak tafsirnya hampir serupa satu dengan lainny, tapi kalau yang dominan bil-ra’yi, maka ciri has subyektif penafsir sangat kentara sekali.
Dalam makalah ini kami akan mengkaji tafsir Fi Dzilal al-Qur’an (dalam naungan al-Quran) karya Sayyid Quthub. Agar kita menemukan mainstream dari tafsir tersebut,dan seperti apa  tipologi tafsirnya, dan seberapa berpengaruh pada masanya.Tentu sangat urgen juga kita bahas biografi sayyid Quthub dan intelektualitasnya, sehingga kita menemukan gambaran utuh tentang tafsir Fi Dzilal al-Qur’an tersebut.
B.       Riwayat hidup sayyid Quthub.
Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthub Ibn Ibrohim Husain Syadzili.Dia lahir di Musha,Propinsi  Asyut, daerah pinggiran Mesir pada tanggal 9 Oktober 1906.Ia berasal dari keluarga yang sangat religius yang pecinta al-Qur’a, Pendidikannya dimulai dari desanya, ia telah hafal al-Qur’an dalam usia 10 tahun. Kecerdasannya sudah nampak sejak ia masih kecil, Orang tuanya memahami betul potensi Sayyid Quthub. Pada usia 13 tahun,setamat sekolah dasar, ia bersama orang tuanya pindah ke daerah Halwan,di pinggiran kota Kairo. Ia melanjutkan ke sekolah keguruan, karena ia tertarik pada bidang pendidikan. Pada tahun 1928 lulus dari sekolah keguruan, lalu Ia masuk ke Tajhijiyah Dar Al-Ulum, nama lama dari Universitas Kairo.[2]
Pada tahun 1933 ia mendapat gelar sarjana pendidikan. kemudian bekerja sebagai pengawas di Departemen Pendidikan. Ia juga sangat berminat pada sastra inggris. Tahun 1949 ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat, tepatnya di Wilson’s Teacher’s College di Wasington dan Universitas di Northern di Colorado, selama dua tahun.[3] Ia ditugaskan khusus untuk mempelajari metode pendidikan barat. Pada tahun 1950 ia menyesesaikan studi S2 nya.
Pengalaman selama 2 tahun di Amerika, telah memberikan kesan yang mendalam, bahwa meskipun kehidupan barat (baca:Amerika) dengan kemajuan dibidang ekonomi dan teknologi, tapi mereka bangkrut dalam moralitas dan spiritualitas. Bahkan menurut penilainnya, tingkah laku mereka sangatlah primitif.[4]  Ia semakin muak dengan Barat yang merasa sebagai pahlawan di negara-negara lain. Ahirnya Ia kembali ke Mesir, dan mulai aktif dalam gerakan Ihwanul Muslimin, dan mulai tertanam sikap anti barat, yang mana pada saat itu budaya barat telah mendominasi Mesir, yang pada saat itu di kuasai oleh Raja Farouk.
Ada beberapa perwira yang di pimpin oleh Abdul Nasr dan Anwar sadat berusaha menggulingkan kekuasaan monarki Raja Farouk. Mereka adalah golongan nasionalis di Mesir, mereka mengajak Ihwanul Muslimin untuk membantunya. Mereka memanfaatkan kebencian Ihwanul muslimin pada barat. Ternyata Ihwanul muslimin hanya dimanfaatkan. setelah Nasser menjadi presiden, Barat dengan leluasa masuk ke wilayah mesir, ini yang membuat Sayyid Qutub merasa dicurangi. Para pemimpin Ihwanul Muslimin di hukum mati. Pada tahun 1954 ia menjadi juru bicara Ihwan, setelah jama’ah itu dibubarkan. Ia mulai menulis topik-topik keislaman, dan kritik terhadap problem sosial politik.[5] Dalam tulisannya ia banyak dipengaruhi oleh Muhammad Assad, Abu Hasan Ali An-Nadawi dan Abul A’la Almaududi.[6] Tahun itu juga ia dan para temannya di jebloskan di penjara. Pada tahun 1965 pernah dibebaskan selama setahun atas permintaan presiden Irak, Abdussalam. Kemudian di tangkap kembali sampai ahirnya dihukum mati dengan digantung pada tahun 1966. Selama dipenjara itulah ia menyelesaikan dan merevisi tafsir Fi Dzilalil Qur’an.
C.      Pemikiran dan Pengaruhnya.
Setelah melihat kenyataan bagaimana kemerosotan moral di barat, dan pengaruhnya yang begitu besar di negara-negara muslim, terutama Mesir dimana ia tinggal, telah memberikan inspirasi kepadanya untuk menformulasikan model kehidupan yang sesuai dengan syariat islam. Sayyid Qutub mengusulkan Islam sebagai suatu alternatif untuk menggantikan ideologi-ideologi Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, dan Sekulerisme yang ia yakini tidak bisa membuat tatanan dunia menjadi baik. Ini tercermin dalam tulisan-tulisannya yang kebanyakan berisi tentang ideologi yang mendukung pembaruan Islam.
Konteks yang mendasari kritik Sayyid Qutub, sebenarnya kondisi sosial politik lokal Mesir, yang cenderung pada sosialisme. Menurut Hamid Enayat, ada dua hal yang dikritisi Sayyid Qutub, yaitu pertama, Islam tidak bisa disintesakan dengan sosialisme, karena keduanya terpisah satu sama lain. Kedua, Sosialisme seperti halnya Komunis dan Kapitalis, adalah hasil pemikiran jahiliyyah dengan watak aslinya yang rusak. Sosialisme menekankan kesejahteraan sosial dengan mengorbankan keselamatan moral. Islam tidak mengabaikan segi material tapi Islam beranggapan bahwa langkah awal untuk rancangan itu  adalah pensucian dan pembebasan jiwa, tanpa itu usaha meningkatkan kehidupan tidak akan berhasil.[7]
Sayyid Qutub adalah salah satu arsitek utama dalam stategi kebangkitan Islam kontemporer. Ia memberikan bentuk ide-ide dan worldview yang telah memobilisasi dan memotivasi jutaan umat Islam memperkenalkan kembali praktek islam dalam kehidupan, dan mengubah institusi politik dan sosial sehungga mereka mencerminkan prinsip-prinsip Islam.[8]
Untuk mengenal pikiran sayyid Qutub, yang representatif, kita perlu melihat kembali karyan-karyanya, sebagai contoh, Milestone (batu pijakan), disamping tentunya tafsir Fi Dzilalil Qur’an juga. Buku tersebut ditulis untuk mendidik dan memotivasi potensi gerakan pelopor islamisasi. Ia berusaha menyadarkan kondisi umat Islam yang sedang tertekan dengan adanya jarak dengan nilai-nilai keislaman, budaya pasca kolonial muncul di masyarakat muslim. Ia berusaha menjawab beberapa pertanyaan mendasar, seperti mengapa Islam harus dihidupkan kembali ? Mengapa tidak ada cara lain selain Islam ?  Bagaimana Islam di bangun oleh Nabi Muhammad ? Dapatkah metode yang sama ,ysng tidsk diragukan lagi dalam konsep ilahi di aplikasikan lagi ?[9]
Menurut Sayyid Qutub, kemanusiaan pada saat ini telah berada ditepi jurang kehancuran karena kegagalannya dalam sistem nilai. dan islam adalah satu-satunya agama yang memiliki sistem nilai tersebut. Ia menggunakan konsep Jahiliyyah untuk segala bentuk kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam.[10] Krisis itu telah menjangkiti seluruh umat Islam, bahkan ia anggap sebagai perubahan mendasar yang menghancurkan Islam. Maka konsep umat,  keyakinan mereka, kebiasaan dan adat mereka, seni dan sastra, syareat dan undang-undang mereka merupakan produk jahiliyyah. Semua yang mengabaikan petunjuk ilahiyah ia golongkan sebagai jahiliyyah, semua rejim pemerintahan secara mendasar sama, mengabaikan otoritas tuhan, berarti telah menentang tuhan. Qutub memandang kehidupan bermasyarakat hanya dengan dua sisi, masyarakat Islam dan masyarakat jahili.[11] Sehingga ia dekenal sebagai seorang tokoh Islamis.
Dalam pemikiran Sayyid Qutub, manusia harus sesuai dengan kehendak Allah dalam kehidupannya, maka tatanan kehidupan haruslah dalam bayangan Al-Qur’an, dalam sistem hidup Al-Qur’an dan dalam syariat Al-qr’an. Pelaksanaan syari’at akan menyelaraskan perjalanan didunia. Dan berpegang pada syari’at adalah buah dari berpegang teguh pada keimanan.[12]
Ideologi yang dibangun oleh Sayyid Quthub adalah “ideologi protes” dari kaum oposisi untuk melawan kelas penguasa yang dianggap dholim dan menyimpang dari ajaran agama. Tapi pikirannya tidak bersifat lokal, karena pandangan dunia yang ia bangun juga untuk perjuangan selanjutnya. Dia tipe pemikir sejati, ini ditandai dengan tidak malu untuk meralat tulisan-tulisannya kembali.[13]
Pemikiran Sayyid Quthub terpublikasikan lewat buku-buku yang ia karang, puluhan buku sudah ia hasilkan dalam berbagai konsentrasi, terutama sastra dan keislaman. Tapi yang paling minumental adalah Hadha al-Din, Al-Mustaqbal li hadza al-Din, Khoso’is al-Tasawwur al-Islamiyy, Ma’alim fi al-Tariq dan Tafsir FI Dzilal al-Qur’an.
Sedikit sekali Islamolog Barat yang memandang positif pemikirannya, mereka menganggap Sayyid Quthub menyebarkan ideologi ekstrimisme, fundamentalisme, penganjur kekerasan dan terorisme. Bahkan banyak yang menyamakan dengan jama’ah Ialamiyyah wattakfir, padahal Sayyid Quthub dalam tulsan-tulisannya tidak begitu saja mengkafirkan orang islam , paling keras menggolongkan dalam thoghut dan jahiliyyah[14]. Ciri Jama’ah Islamiyyah wattakfir adalah tidak adanya semangat intelektual, sedangkan Sayyid Quthub sarat dengan intelektualitas.
Namun demikian ketika ada aksi teror, pemikiran Sayyid Quthub tetap menjadi “tersangka”,  pemikirannya dianggap berbahaya terutama bagi kaum muda. Padahal ia hanya memiliki prinsip sederhana, mendidik generasi muda untuk berpegang teguh pada ajaran agama. Bisa jadi gaya bahasa yang ia sampaikan dianggap agitatif dan profokatif. Yang pasti pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub terus memberikan inspirasi bagi pergerakan Islam, terutama harakah-harakah yang berorientasi khilafah.
D.       Tafsir Fi Dzilalil Qur’an.
             1.          Nama dan latar belakang penulisannya.
Tafsir Fi Dzilalil Qur’an dia tulis dalam rentang waktu antara tahun 1952 hingga 1965 semasa ia di penjara. Didalam penjara tersebut ia sempat merevisi tafsirnya yang tiga belas juz pertama, sebelum ia merampungkan revisinya, keburu hukuman mati menjemputnya.[15]
Nama Fi Dzilalil Qur’an sendiri diambil dari ekspresi pengalaman dan perenungan pribadi Sayyid Quthub, selama bergaul dengan Al-Qur’an, ini ia ungkapkan secara implisit dalam muqoddimah tafsir tersebut. Ia mengungkapkan bahwa dibawah naungan Al-Qur’an adalah kenikmatan yang tidak dapat diketahui  kecuali hanya oleh mereka yang mengecapinya saja. Aku telah hidup dibawah naungan Al-Qur’an  dan disana aku melihat jahiliyyah berkecamuk dimuka bumi ini, dan aku melihat minat dan cita-cita penduduk dunia ini amat kecil dan kerdil, mengapa mereka tidak mendengar seruan Allah. Aku telah hidup dibawah naungan Al-Qur’an, disana aku merasakan adanya keseimbangan yang indah antara harokah manusia seperti yang dikehendaki Allah dengan alam yang diciptakan Allah. Aku telah hidup dibawah naungan Al-Qur’an, disana aku melihat alam wujud adalah lebih besar dari pada yang nampak ini. Aku telah hidup dibawah bayangan Al-Qur’an dan disana aku melihat manusia lebih mulia dari segala penghargaan dan penilaian terhadap mereka yang dikenali mereka dahulu dan yang kemudian.Dibawah naungan Al-Qur’an juga aku dapat mempelajari bahwa di dalam alam wujud ini tiada ruang bagi kebetulan yang membuta tuli. Oleh sebab itu aku hidup dibawah naungan Al-Qur’an dengan hati yang tenang dan tentram dan disana aku melihat tangan kekuasaan Allah  mengendalikan segala peristiwa. Disana aku hidup dibawah naungandan pemeliharaan Allah. Maka penghayatanku dibawah naungan Al-Qur’an itu berahir dengan satu keyakinan, bahwa dunia ini tidak akan mencapai kebaikan melainkan dengan kembali kepada Allah.[16]
Dari muqoddimah yang ia kemukakan dalam tafsirnya, menunjukkan bahwa judul tafsir Fi Dzilalil Qur’an merupakan wujud pergolakan pemikirannya untuk mengembalikan masyarakat dalam setting Al-Qur’an sebagaimana yang ia kemukakan. Ia menjelajahi berbagai cara agar pesan orisinil Islam yang disampaikan Al-Qur’an dapat menjadi fondasi, agar manusia menemukan kembali pola kehidupannya yang dikehendaki oleh Allah. Tafsirnya banyak menekankan manusia untuk beriman secara instuitif dengan cara tak perlu merasionalkan dengan penjelasan filsafati. Iman harus ditetapkan melalui tindakan langsung kedalam kehidupan individu, sosial dan tatanan politik.
Syareat Allah bagi manusia merupakan salah satu dari undang-undangNya yang menyeluruh dialam semesta. Maka, melaksanakan syareat pasti memiliki dampak yang positif bagi kehidupan manusia. Syariat itu adalah buah iman. Syariat dibuat untuk dilaksanakan oleh masyarakat muslim dan merupakan saham untuk membangun masyarakat muslim. inilah sebagian curahan dalam kehidupan dibawah naungan Al-Qur’an yang dicitakan oleh Sayyid Quthub. Dengan demikian tafsir FI Dzilalil Qur’an berusaha menyederhanakan prinsip-prinsip ajaran Al-Qur’an, sehingga tafsirnya terkesan lebih pada pengarahan dari pada pengajaran, meskipun dalam beberapa hal, sisi pengajaran tetap ada.[17]
Secara umum ,tema yang ditekankan dalam FI Dzilalil Qur’an meliputi gagasan tentang hubungan antar sesama manusia. Allah, menurutnya, menghendaki sebuah bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan. konsep ini menghindarkan terbentuknya kekuasaan tirani yang menebarkan kebencian , kebodohan dan kekafiran.[18]
Menurut Umej Bhatia, peneliti pada Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Havard, tafsir Fi dzilalil Qur’an menyajikan cara baru dalam penafsiran Al-Qur’an yang belum dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid Quthub memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan snagat serasi[19]. sehingga Al-Quran sebagi pijakan utama melakukan revolusi politik dan sosial. Dan bisa dikatakan tafsir ini adalah tafsir Haraki (pergerakan) atau tafsir Dakwah.
             2.     Metode Tafsir Fi Dzilalil Qur’an
Kalau kita mengkaji kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang telah ditulis oleh para mufassirin, maka secara garis besar dalam metode penulisannya dapat digolongkan menjadi empat, yakni metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metode muqorin (perbandingan) dan metode Maudhu’I (tematik). sedangkan coraknya bisa bilma’tsur (dominasi hadis dan atsar) dan bilro’yi (dominasi ijtihad), namun sering juga menggabungkan keduanya untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif.
Sayyid Quthub dalam menafsirkan Al-Qur’an cenderung dengan menggunakan metode Tahlili, yakni mengemukakan surat dengan gambaran ringkas kandungan surat yang akan dikaji secara rinci. Dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an Sayyid Quthub juga mengambil hadis-hadis,  atau qoul shohabat untuk mendukung penafsirannya  seperti pendapat umar, atau juga mengambil dari kitab tafsir periode sebelumnya, seperti Tafsir Ibnu katsir tentang bai’ah aqobah, disamping juga ada beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan dalam penafsirannya. Namun dia tidak menafikan untuk memasukkan ijtihadnya (pikiran dan pendapatnya) untuk menguraikan tafsirnya. Dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an ada perpaduan antara bilma’sur dan bilro’yi yang secara serasi saling melengkapi.
 Sebagai misal dalam surat alfatihah, Sayyid Quthub mengemukakan bahwa dalam surat tersebut tersimpul prinsip-prinsip aqidah Islam, konsepsi islam dan pengarahan yang mengidentifikasi hikmah. kemudian diperinci ayat demi ayatang mendukung.
Dalam menafsirkan surat yang panjang, Sayyid Quthub mengelompokkan beberapa ayat yang berurutan dalam satu kesatuan, sesuai dengan pesan yang terkandung dalam rangkaian ayat-ayat tersebut. sebagai contoh dalam menafsirkan surat al-Baqoroh, ayat pertama sampai 29 sebagai bagian pertama pembahasan, ayat 30-39 ,40-74, 75-103 dan seterusnya. bandingkan dg tafsir Almanar umpamanya, pengelompokan Sayyid Quthub relatif lebih besar. Bandingkan pula dalam penggunaan hadis dalam penyebutan sanadnya dengan, misal, tafsir Ibnu katsir.
Sayyid Quthub juga menekankan analisis rasional dalam tafsirnya, sebagi contoh dalam menafsirkan surat al-Baqoroh ayat 102-103 tentang sihir, bahwa sihir yang mempunyai kekuatan dapat memisahkan suami dari istrinya adalah dengan izin Allah, sihir itu masih terjadi disetiap waktu, banyak manusia yang memiliki keahlian itu. Sungguh bertentangan dengan realitas apabila seeorang secara apriori tidak mempercayainya, hanya karena tidak ada referensi praktis dari ilmu pengetahuan.
3.   Contoh dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)
32. dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
-وبين قتل الأولاد والزنا صلة ومناسبة وقد توسط النهي عن الزنا بين النهي عن قتل الأولاد والنهي عن قتل النفس لذات الصلة وذات المناسبة .
-إن في الزنا قتلاً من نواحي شتى . إنه قتل ابتداء لأنه إراقة لمادة الحياة في غير موضعها ، يتبعه غالباً الرغبة في التخلص من آثاره بقتل الجنين قبل أن يتخلق أو بعد أن يتخلق ، قبل مولده أو بعد مولده فإذا ترك الجنين للحياة ترك في الغالب لحياة شريرة ، أو حياة مهينة ، فهي حياة مضيعة في المجتمع على نحو من الأنحاء . . وهو قتل في صورة أخرى . قتل للجماعة التي يفشو فيها ، فتضيع الأنساب وتختلط الدماء ، وتذهب الثقة في العرض والولد ، وتتحلل الجماعة وتتفكك روابطها ، فتنتهي إلى ما يشبه الموت بين الجماعات .
-وهو قتل للجماعة من جانب آخر ، أذ أن سهولة قضاء الشهوة عن طريقه يجعل الحياة الزوجية نافلة لا ضرورة لها ، ويجعل الأسرة تبعة لا داعي إليها ، والأسرة هي المحضن الصالح للفراخ الناشئة ، لا تصح فطرتها ولا تسلم تربيتها إلا فيه .
-وما من أمة فشت فيها الفاحشة إلا صارت إلى انحلال ، منذ التاريخ القديم إلى العصر الحديث . وقد يغر بعضهم أن أوربا وأمريكا تملكان زمام القوة المادية اليوم مع فشو هذه الفاحشة فيهما . ولكن آثار هذا الانحلال في الأمم القديمة منها كفرنسا ظاهرة لا شك فيها . أما في الأمم الفتية كالولايات المتحدة ، فإن فعلها لم تظهر بعد آثاره بسبب حداثة هذا الشعب واتساع موارده كالشاب الذي يصرف في شهواته فلا يظهر أثر الإسراف في بنيته وهو شاب ولكنه سرعان ما يتحطم عندما يدلف إلى الكهولة فلا يقوى على احتمال آثار السن ، كما يقوى عليها المعتدلون من أنداده!
-والقرآن يحذر من مجرد مقاربة الزنا . وهي مبالغة في التحرز . لأن الزنا تدفع إليه شهوة عنيفة ، فالتحرز من المقاربة أضمن . فعند المقاربة من أسبابه لا يكون هناك ضمان .
-ومن ثم يأخذ الإسلام الطريق على أسبابه الدافعة ، توقياً للوقوع فيه . . يكره الاختلاط في غير ضرورة . ويحرم الخلوة . وينهى عن التبرج بالزينة . ويحض على الزواج لمن استطاع ، ويوصي بالصوم لمن لا يستطيع . ويكره الحواجز التي تمنع من الزواج كالمغالاة في المهور . وينفي الخوف من العيلة والإملاق بسبب الأولاد . ويحض على مساعدة من يبتغون الزواج ليحصنوا أنفسهم . ويوقع أشد العقوبة على الجريمة حين تقع ، وعلى رمي المحصنات الغافلات دون برهان . . إلى آخر وسائل الوقاية والعلاج ، ليحفظ الجماعة الإسلامية من التردي والانحلال .[20]

artinya :
·      Antara perbuatan membunuh anak dan melakukan zina itu terdapat hubungan dan persamaan. Larangan melakukan zina disebutkan ditengah-tengah,yaitu diantara larangan membunuh anak dan larangan membunuh orang lain, karena adanya hubungan dan persamaan.
·      Sesungguhnya dalam zina itu mengandung pembunuhan dari berbagai sudut pandang. Zina merupakan perbuatan membunuh sejak dari awalnya, karena zina itu menumpahkan benih kehidupan bukan pada tempatnya yang benar. diikuti pula dengan keinginan yang kesannya menghindarkan diri dengan membunuh bayi sebelum ia berbentuk atau sesudah terbentuk, baik itu sebelum atau setelah dilahirkan ke dunia. Andai kata bayi itu dibiarkan hidup, ia biasanya dibiarkan dalam kehidupan yang buruk atau  kehidupan yang hina. Yaitu kehidupan yang disia-siakan dalam masyarakat dengan berbagai aspeknya, Dan zina itu merupakan satu bentuk pembunuhan terhadap masyarakat dimana kejahatan zina berkembang yang menyebabkan hilangnya hubungan keturunan dan percampuran darah keturunan yang ahirnya kehilangan kepercayaan terhadap kehormatan dan anak. dan mengakibatkan kehancuran ikatan masyarkat, yang berakibat pada keruntuhan yang menyerupai kematian dikalangan kelompok masyarakat.
·      Dari sisi yang lain, zina merupakan pembunuhan terhadap masyarakat, karena mudahnya melampiaskan nafsu sahwat dengannya, ini mengakibatkan hubungan suami istri menjadi perkara yang remeh, bukan sesuatu yang urgen dan menjadikan keluarga sebagai sesuatu yang tidak perlu ditanggungjawabkan, padahal keluarga merupakan tempat yang baik bagi (pendidikan) anak-anak kecil, dimana fitrah itu tidak akan tumbuh sehat dan pendidikan mereka tidak akan selamat kecuali didalam keluarga.
·      Tidak ada satu umatpun yang disana kejahatan zina berkembang luas melainkan umat resebut akan menuju keruntuhan. Ini berlaku sejak zaman purbakala hingga zaman modern. Mungkin sebagian orang terkelabui dengan Eropa dan Amerika saat ini. Dimana kedua bangsa tersebut memegang kendali kekuatan ekonomi, meskipun kejahatan zina merajalela dalam kedua masyarakat tersebut. tetapi tnanda-tanda keruntuhan telah terjadi pada bangsa-bangsa yang sudah tua, seperti perancis telah nampak benar. Sedangkan pada bangsa-bangsa yang masih muda seperti Amerika Serikat, tanda-tanda keruntuhan itu belum nampak, karena bangsa Amerika masih sangat muda dan suber daya alamnya sangat luas. Amerika seperti seorang pemuda yang sedang rakus-rakusnya, dan mengumbar hawa nafsunya, dan akibat dari pengumbaran itu belum nampak padatubuhnya. Ketika ia memasuki usia tuanya, dia tidak lagi mampu menanggung tanda-tanda ketuaan itu sekuat teman-temannya yang sederhana kuat menanggungnya.
·      Al-Qur’an memerintahkan, jangan mendekati zina, ini merupakan penekanan supaya menjauhi perbuatan itu, karena perbuatan zina itu didorong oleh keinginan nafsu yang sangat kuat, dan menghindarinya adlah lebih selamat. danketika mendekatinya saja tidak ada jaminan selamat.
·      lah Justru itulah islam mememberikan batasan jalan yang mengarah pada zina dengan menjauhi sebab-sebab yang mendorong kearah itu, agar orang tidak terjerumus kedalamnya. Karena itu Islam melarang Ihtilat (percampuran bebas) yang tidak perlu antara laki-laki dan perempuan, mengharamkan kholwat dan berdandan yang berlebihan. Islam menganjurkan pernikahan kepada yang mampu, dan berpuasa bagi yang tidak mampu. Dan Islam melarang mengada-adakan sesuatu yang dapat menghalngi terjadinya pernikahan, seperti mematok mahar yang terlalu tinggi. Islam meniadakan ketakutan kepada kemiskinan dan kefakiran karena memiliki banyak anak. Dan menganjurkan memberikan subsidi kepada orang yang akan menikah untuk menjaga kesucian diri mereka. Islam memberikan hukuman yang berat kepada pelaku zina, dan juga kepada penuduh wanita baik-baik berzina tanpa bukti. dan sarana-sarana lainnya untuk mencegah perbuatan zina sekaligus mengobatinya,agar masyarakat Islam terpelihara dari keruntuhan dan kehancuran.
Dalam membahas ayat tentang zina seperti dalam contoh diatas, pendekatan yang digunakan oleh Sayyid Qutb bukan bersifat fiqhiyyah saja, tapi melangkah lebih jauh dari itu, dengan pendekatan sosikultural, akibat logis, dan konsekwennya. Ketika ada larangan, maka prinsip awalnya adalah, dalam larangan itu diyakini ada yang bersifat merusak, dan dalam perintah itu pasti bernilai positif.
E.   Penutup
Pemikiran Sayyid Quthub telah memberikan pendekatan baru (di zamannya) dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia berusaha mendialogkan Al-Qur’an dengan realitas historis yang ada, sehingga Al-Qur’an terkesan “hidup” dan mampu memberikan inspirasi dalam gerakan untuk perbaiakan ummat. Tentu Semonumental apapun tafsir Fi Dzilalil Qur’an, bukan berarti ia langsung bisa sebagai landasan ber Islam, maka kita ketika membaaca tafsir tersebut, dengan tetap menyerakan latar belakang sosio kultural politik pada masa Sayyid quthub hidup.
Ketika gerkan-gerakan fundamentalisme literal, mengklaim bahwa mereka dipengaruhi pemikiran Sayyid Quthub, itu bisa jadi karena ketergesa-gesaan dalam menerima tafsir tanpa adanya dialektika terhadap waacana teks tafsir tersebut. Bukan teksnya yang harus disalahkan, tapi pemahamannya. atau mungkin kondisi sosio kulural politiknya sama persis dengan pada masa tafsir Fi Dzilalil Qur’an ditulis.
Lebih fair ketika kita membaca kitab tafsir tanpa sikap apriori negatif terhadap tafair tersebut karena perbedaan madzhab fiqih atau ideologi, karena dengan membatasi diri dalam sekat-sekat seperti itu akan menyempitkan pola pikir kita, yang ahirnya menjadi tidak toleran terhadap kelompok lain. Bukankah para mufassir itu tulus mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an ? Wallah a’lam.


[1] M.Quraish Shihab, dalam Rif’at Syauqi Nawawi : Rasionalitas Tafsir M.Abduh:Jakarta,Paramadina,2002, hal.xii.
[2] Jean Mark R. Oppenheim,dalam  www.Africa Encyclopedia,com.
[3] Salmandmk,Metode Tafsir Fi Dzilalil Qur’an,http://blog.re.or.id/metode memahami alquran.htm. 2008
[4] Luke Loboda,The Thought of Sayyid Qutb : Ohio,Ashbrook Scholar,2004, hal.1
[5] Saiful Amin,Para mufassir A-Qur’an : Yogyakarta, Pustaka Insan Madani,2008, hal.183
[6] Ibid, hal.3.
[7] Salmandmk,Metode Tafsir Fi Dzilalil Qur’an,hal,2
[8] Muqtedar Khan, Summary of Milestones :Indianapolis, ATP edition,1990, th.
[9] Ibid.
[10] Salahuddin Jursy,Al-Islamiyyun at-taqoddumiyyun, terjemahan M.Aunul Abid syah :Jakarta ,Paramadina,2004, hal.34
[11] Luke Loboda,The Thought of Sayyid Qutb, hal.4.
[12] Sayyid Quthub, Fi Dzilali Qur’an, jilid I :hal.10.    
[13]Ekki Malaka,. Sayyid Quthb dan Revolusi Wacana. http://ummahaonline.wordpress.com
[14] Ibid
[15] Salmandmk,Metode Tafsir Fi Dzilalil Qur’an,hal.2.
[16] Sayyid Quthub, Fi Dzilali Qur’an, jilid I hal.3-12.
[17] Rif’at Syauqi Nawawi : Rasionalitas Tafsir M.Abduh:Jakarta,Paramadina,2002, hal.98
[18] http://indonesiafile.com/content/view/1754/42/Tafsir fidari baliDhilalil Qur’an sarana dakwah k jeruji penjara.
[19] Ibid.
[20] Sayyid Quthub, Fi Dzialil Qur’an, dalam Maktabah samilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar